Internship Track ComDev – NTT, Waikabubak
“NTT?? Kenapa jauh sekali???”
Mungkin itu kalimat pertama yang keluar dari kebanyakan orang ketika mendengar bahwa saya akan melakukan magang di Waikabubak, Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur ini. Ya, saya adalah seorang mahasiswi aktif semester 7 Binus University angkatan 2013 yang mengambil track magang Community Development. Jujur, pada awalnya saya tidak punya pemikiran sama sekali untuk mengambil track Comdev. Tetapi ada satu teman saya, Risa, yang memberikan ide untuk mengambil track ini dan memilih wilayah Indonesia Timur sebagai tempat magangnya, alhasil saya tertarik untuk mengambil track ini. Dengan segala perjuangan, penantian, dan beberapa pilihan, akhirnya saya memutuskan untuk berangkat mengajar di Kota Waikabubak ini dan mengajar di SMA Katolik Sint Pieter Waikabubak selama 5 bulan.
Setelah melakukan banyak persiapan, seperti menyiapkan materi, peralatan dan perlengkapa, serta menyiapkan mental dan juga fisik, berangkatlah saya ke Waikabubak pada tanggal 12 September 2016. Rasa takut, sedih, bersemangat, penasaran, sampai perasaan waswas menyelimuti saya yang akan memulai sebuah langkah baru. Takut karena saya tidak kenal siapapun di kota ini, sedih karena harus berpisah dengan keluarga, sahabat, dan teman teman di Jakarta, bersemangat karena tidak sabar ingin segera mengetahui kehidupan baru, namun juga was – was karena khawatir tidak bisa beradaptasi. Lalu saya ingat apa yang semua orang bilang, bahwa rasa takut hanya diawal, tetapi ketika sudah dilakukan, pasti akan menyenangkan.
Akhirnya setelah sekitar 5 jam perjalanan (jam 07.00 WIB berangkat dari Jakarta menuju Bali, sampai di Bali jam 10.00 WITA, transit 90 menit, lanjut dari Bali jam 11.30 WITA dan tiba di Waikabubak jam 13.18 WITA), saya tiba di Bandara Tambolaka, Waikabubak. Sekitar 15 menit sebelum turun, pemandangan yang saya lihat dari pesawat membuat saya berpikir bahwa kota ini adalah kota yang gersang dan sepi. Tidak banyak rumah yang terlihat dari atas, hanya wilayah gersang berwarna kecoklatan yang menghiasi kota ini.
Setelah turun dari pesawat, ternyata benar, bandaranya saja sangat sepi dan hawa panasnya cukup menyengat. Bukan panas lembap, tetapi panas alami. Bandaranya kecil namun cukup bagus. Ketika saya hendak masuk ke dalam, ada seorang bapak-bapak yang menunggu di pintu masuk sambil memotret saya dengan kamera ponselnya. Karena takut, saya menunduk. Tiba tiba bapak tersebut memanggil nama saya, ternyata beliau adalah Bapak Laurensius Juang (Pak Lorens) yang selama ini menghubungi saya dan yang menjemput saya juga di Bandara.
Memasuki Sumba Barat, wilayahnya terlihat lebih hijau dari Sumba Barat Daya (SBD). Jalannya pun tidak bekelok-kelok. Hawanya juga lebih sejuk dibanding SBD. saya lanjut ke pemberhentian terakhir, yaitu rumah kos saya. Jaraknya sangat dekat dari sekolah, hanya sekitar 200 meter. Sampai di rumah kos, saya disambut oleh Papa dan Mama Fritz yang memiliki rumah tersebut.
Keesokan harinya (Selasa 13 Sept 2016), saya berangkat ke sekolah untuk lapor diri ke Kepala Sekolah. Pagi itu saya sangat deg-degan, lagi-lagi takut tidak bisa beradaptasi. Injakan kaki pertama saya di SMA Katolik saat itu dipenuhi dengan tatapan penasaran dari siswa-siswinya. Tidak sedikit yang berbisik bisik lalu tersenyum dengan saya. Ada juga yang langsung buru-buru memanggil temannya untuk melihat saya. Kemudian semua siswa berkumpul di lapangan untuk apel harian. Saat itu, Kepala Sekolah SMA Katolik, Bapak Laurensius Dairo Riti, langsung memperkenalkan saya kepada seluruh warga sekolah, serta memberi tahu tujuan saya datang ke Waikabubak. Kemudian beliau menyuruh saya untuk memperkenalkan diri secara singkat didepan seluruh warga sekolah. Anak-anak SMA ini sangat sederhana, gayanya tidak neko-neko. Setelah apel, saya memperkenalkan diri dengan guru-guru di dalam kantor guru. Mereka menyambut saya dengan hangat. Kemudian Pak Kepala Sekolah mengajak saya berjalan melihat lingkungan sekolah sambil memberitahu riwayat sekolah tersebut. Usia sekolahnya masih terbilang muda, 5 tahun. Sekolahnya sangat sederhana, namun asri sekali. Masih banyak pohon yang membuat suasana sekolahnya menjadi terasa lebih dingin. Jalan didalam sekolahnya masih bebatuan, tidak berpagar, terdapat 6 kelas, ruang guru, ruang kepala sekolah, 1 kantin darurat dan 6 kamar mandi. Dengan fasilitas seadanya namun cukup untuk menjalankan KBM.
Untuk cerita lebih lanjutnya, akan saya ceritakan besok ya….
Terima kasih sudah membaca, mohon ditunggu ya kelanjutan ceritanya..^_^
-
hasni djawa Menarik banget cetitanya